Cerita Sex Memuaskan Nafsu Nyonya Besar part 2

Hhh.. ehh.. sshh.. ” kelihatan Bu Winda menahan nafasnya.
“Aakh.. Bu.. saya.. saya nggak tahan..” Wie mulai mengeluh.
“Tahann sebentar.. sebentar saja..!” Bu Winda nampak agak marah mengucapkan itu, keringatnya mulai bermunculan di kening dan hidungnya.

Sekuat tenaga Wie menahan aliran yang hendak meledak di ujung peralatannya. Di atasnya Bu Winda terus berpacu.. bergerak semakin liar hingga dipan tempat mereka berada ikut berderit-derit. Makin lama semakin cepat dan akhirnya nampak Bu Winda mengejang, kepalanya ditengadahkan ke atas memperlihatkan lehernya yang putih berkeringat.

“Aaahhkhh..!”

Sejurus kemudian dia berhenti bergoyang. Lemas terkulai namun tetap pada posisi duduk di atas tubuh Wie yang masih bergetar menahan rasa. Nafasnya masih memburu. Beberapa saat kemudian, “Pleph..!” tiba-tiba Bu Winda mencabut pantatnya dari tubuh Wie. Dia segera berdiri, merapihkan rambutnya dan roknya yang tersingkap sebentar.

Kemudian, “Jangan cerita kepada siapapun..!” tandasnya, “Dan bila kamu belum selesai, kamu bisa puaskan ke Inah.. Ibu sudah bicara dengannya dan dia bersedia..” tukasnya cepat dan segera berjalan ke pintu lalu keluar. gentot

Wie terhenyak di atas kasurnya. Sejenak dia berusaha menahan degup jantungnya. Diambilnya nafas dalam-dalam. Sambil sekuat tenaga meredam denyutan di ujung penisnya yang terasa mau menyembur cepat itu. Setelah bisa tenang, dia segera bangkit, mengenakan pakaiannya kemudian berbaring.

nafasnya masih menyisakan birahi yang tinggi namun kesadarannya cepat menjalar di kepalanya. Dia sadar, tak mungkin dia menuntut apapun pada majikan yang memberinya hidup itu. Namun sungguh luar biasa pengalamannya tersebut. Tak sedikitpun terpikir, Bu Winda yang begitu berwibawa itu melakukan perbuatan seperti ini.

Dada Wie agak berdesir teringat ucapan Bu Winda tentang Inah. Terbayang raut wajah Inah yang dalam benaknya lugu, tetapi kenapa mau disuruh melayaninya..? Wie menggelengkan kepala.. Tidak..! biarlah perbuatan bejat ini antara aku dan Bu Winda. Tak ingin dia melibatkan orang lain lagi. Perlahan tapi pasti Wie mampu mengendapkan segala pikiran dan gejolak perasaannya. Beberapa menit kemudian dia terlelap, hanyut dalam kenyamanan yang tanggung dan mengganjal dalam tidurnya.

Perlakuan Bu Winda berlanjut tiap kali suaminya tidak ada di rumah. Selalu dan selalu dia meninggalkan Jo dalam keadaan menahan gejolak yang menggelegak tanpa penyelesaian yang layak. Beberapa kali Wie hendak meneruskan hasrat sex nya ke Inah, tetapi selalu diurungkan karena dia ragu-ragu, apakah semuanya benar-benar sudah diatur oleh majikannya atau hanyalah alasan Bu Winda untuk tidak memberikan balasan pelayanan kepadanya.

Hingga akhirnya pada suatu malam yang dingin, di luar gerimis dan terdengar suara-suara katak bersahutan di sungai kecil belakang rumah dengan rythme-nya yang khas dan dihafal betul oleh Wie. Dia agak terganggu ketika mendengar daun pintu kamarnya terbuka.

“Kriieet..!” ternyata Bu Winda.

Nampak segera melangkah masuk kamar. Malam ini beliau mengenakan daster merah jambu bergambar bunga atau daun-daun apa Wie tidak jelas mengamatinya. Karena segera dirasakannya nafasnya memburu, kerongkongannya tercekat dan ludahnya terasa asin. Wajahnya terasa tebal tak merasakan apa-apa.

Agak terburu-buru Bu Winda segera menutup pintu. Tanpa bicara sedikitpun dia menganggukkan kepalanya. Wie segera paham. Dia segera menarik tali saklar di kamarnya dan sejenak ruangannya menjadi remang-remang oleh lampu 5 watt warna kehijauan. Sementara menunggu Wie melepas celananya, Bu Winda nampak menyapukan pandangannya ke seantero kamar.

“Hmm.. anak ini cukup rajin membersihkan kamarnya..” pikirnya.

Tapi segera terhenti ketika dilihatnya “alat pemuasnya” itu sudah siap. Dan.., kejadian itu terulang kembali untuk kesekian kalinya. Setelah selesai Bu Winda segera berdiri dan merapihkan pakaiannya. Dia hendak beranjak ketika tiba-tiba teringat sesuatu.

“Oh Ibu lupa..” terhenti sejenak ucapannya.

Wie berpikir keras.. kurang apa lagi..? Jujur dia mulai tidak tahan mengatasi hasrat sex nya tiap kali ditinggal begitu saja, ingin sekali dia meraih pinggang sexy itu tiap kali hendak keluar dari pintu.

Lanjutnya, “Hmm.. Inah pulang kampung pagi tadi..” dengan wajah agak masam Bu Winda segera mengurungkan langkahnya. “Rasanya tidak adil kalau hanya Ibu yang dapat. Sementara kamu tertinggal begitu saja karena tidak ada Inah..”

Wie hampir keceplosan bahwa selama ini dia tidak pernah melanjutkan dengan Inah. Tapi mulutnya segera dikuncinya kuat-kuat. Dia merasa Bu Winda akan memberinya sesuatu. Ternyata benar.. Perempuan itu segera menyuruhnya berdiri.

“Terpaksa Ibu melayani kamu malam ini. Tapi ingat.., jangan sentuh apapun. Kamu hanya boleh melakukannya sesuai dengan yang Ibu lakukan kepadamu..”

Kemudian Bu Winda segera duduk di tepi ranjang. Diraihnya bantal untuk ganjal kepalanya. Sejurus kemudian dia membuka pahanya. Matanya segera menatap Wie dan memberinya isyarat.

“..” Wie tergagap. Tak mengira akan diberi kesempatan seperti itu. gentot

Dalam cahaya kamar yang minim itu dadanya berdesir hebat melihat sepasang paha mulus telentang. Di sebelah atas sana nampak dua bukit membuncah di balik BH warna krem yang muncul sedikit di leher daster. Dengan pelan dia mendekat. Kemudian dengan agak ragu selangkangannya diarahkan ke tengah diantara dua belah paha mulus itu. Nampak Bu Winda memalingkan wajah ke samping jauh.. sejauh-jauhnya.

“Degh.. degh..” Wie agak kesulitan memasukkan alatnya.

Karena selama ini dia memang pasif. Sehingga tidak ada pengalaman memasukkan sama sekali. Tapi dia merasakan nikmat yang luar biasa ketika kepala penisnya menyentuh daging lunak dan bergesekan dengan rambut kemaluan Bu Winda yang tebal itu. Hhh..! Nikmat sekali. Bu Winda menggigit bibir. Ingin rasanya menendang bocah kurang ajar ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *