Cerita Sex Memuaskan Nafsu Nyonya Besar part 1

Cerita Sex Memuaskan Nafsu Nyonya Besar, Hingga kini, kisah sex ini masih sering terlintas dalam benak dan pikiranku. Entah suatu keberuntungankah atau kepedihan bagi si pelaku. Yang jelas dia sudah mendapatkan pengalaman berharga dari apa yang dialaminya.

Sebut saja namaya si Wie. Berasal dari kampung yang sebenarnya tidak jauh-jauh sekali dari kota M. Di kota M inilah dia numpang hidup pada seorang keluarga kaya. Suami istri berkecukupan dengan seorang lagi pembantu wanita Inah, dengan usia kurang lebih diatas Wie 2-3 tahun. Wie sendiri berumur 16 tahun jalan.

Suatu hari nyonya majikannya yang masih muda, Ibu Winda atau biasa mereka memanggil Bu Winda, mendekati mereka berdua yang tengah sibuk di dapur yang terletak di halaman belakang, di depan kamar si Wie.

“Inah.., besok lusa Bapak hendak ke Kalimantan lagi. Tolong siapkan pakaian secukupnya jangan lupa sampai ke kaos kakinya segala..” perintahnya.
“Kira-kira berapa hari Bu..?” tanya Inah hormat.
“Cukup lama.. mungkin hampir satu bulan.”
“Baiklah Bu..” tukas Inah mahfum.

Bu Winda segera berlalu melewati Wie yang tengah membersihkan tanaman di pekarangan belakang tersebut. Dia mengangguk ketika Wie membungkuk hormat padanya.

Ibu Winda majikannya itu masih muda, paling tua mungkin sekitar 30 tahunan, begitu Inah pernah cerita kepadanya. Mereka menikah belum lama dan termasuk lambat karena keduanya sibuk di study dan pekerjaan. Namun setelah menikah, Bu Winda nampaknya lebih banyak di rumah. Walaupun sifatnya hanya sementara, sekedar untuk jeda istirahat saja.

Dengan perawakan langsing, dada tidak begitu besar, hidung mancung, bibir tipis dan berkaca mata serta kaki yang lenjang, Bu Winda terkesan angkuh dengan wibawa intelektualitas yang tinggi. Namun kelihatan kalau dia seorang yang baik hati dan dapat mengerti kesulitan hidup orang lain meski dalam proporsi yang sewajarnya.

Dengan kedua pembantunya pun tidak begitu sering berbicara. Hanya sesekali bila perlu. Namun Wie tahu pasti Inah lebih dekat dengan majikan perempuannya, karena mereka sering bercakap-cakap di dapur atau di ruang tengah bila waktunya senggang. Beberapa hari kepergian Bapak ke Kalimantan, Wie tanpa sengaja menguping pembicaraan kedua wanita tersebut.

“Itulah Nah.. kadang-kadang belajar perlu juga..” suara Bu Winda terdengar agak geli.
“Di kampung memang terus terang saya pernah Bu..” Inah nampak agak bebas menjawab. gentot
“O ya..?”
“Iya.. kami.. sst.. pss..” dan seterusnya Wie tidak dapat lagi menangkap isi pembicaraan tersebut. Hanya kemudian terdengar tawa berderai mereka berdua.

Wie mulai lupa percakapan yang menimbulkan tanda tanya tersebut karena kesibukannya setiap hari. Membersihkan halaman, merawat tanaman, memperbaiki kondisi rumah, pagar dan sebagainya yang dianggap perlu ditangani. Hari demi hari berlalu begitu saja. Hingga suatu sore, Wie agak terkejut ketika dia tengah beristirahat sebentar di kamarnya.

Tiba-tiba pintu terbuka, “Kriieet.. Blegh..!” pintu itu segera menutup lagi. Dihadapannya kini Bu Winda, majikannya berdiri menatapnya dengan pandangan yang tidak dapat ia mengerti.

“Wie..” suaranya agak serak.
“Jangan kaget.. nggak ada apa-apa. Ibu hanya ada perlu sebentar..”
“Maaf Bu..!” Wie cepat-cepat mengenakan kaosnya.

Barusan dia hanya bercelana pendek. Bu Winda diam dan memberi kesempatan Wie mengenakan kaosnya hingga selesai. Nampaknya Bu Winda sudah dapat menguasai diri lagi. Dengan mimik biasa dia segera menyampaikan maksud kedatangannya.

“Hmm..,” dia melirik ke pintu.
“Ibu minta kamu nggak usah cerita ke siapa-siapa. Ibu hanya perlu meminjam sesuatu darimu..”
Kemudian dia segera melemparkan sebuah majalah.
“Lihat dan cepatlah ikuti perintah Ibu..!” suara Bu Winda agak menekan.

Agak gelagapan Wie membuka majalah tersebut dan terperangah mendapati berbagai gambar yang menyebabkan nafasnya langsung memburu. Meski orang kampung, dia mengerti apa arti semua ini. Apalagi jujur dia memang tengah menginjak usia yang sering kali membuatnya terbangun di tengah malam karena bayangan dan hawa yang menyesakkan dada bila baru nonton TV atau membaca artikel yang sedikit nyerempet ke arah “itu”.

Sejurus diamatinya Bu Winda yang tengah bergerak menuju pintu. Beliau mengenakan kaos hijau ketat, sementara bawahannya berupa rok yang agak longgar warna hitam agak berkilat entah apa bahannya. Segera tangan putih mulus itu menggerendel pintu.

Kemudian.., “Berbaringlah Wie.. dan lepaskan celanamu..!”
Agak ragu Wie mulai membuka.
“Dalemannya juga..” agak jengah Bu Winda mengucapkan itu.
Dengan sangat malu Wie melepaskan CD-nya. Sejenak kemudian terpampanglah alat pribadinya ke atas.

Lain dari pikiran Wie, ternyata Bu Winda tidak segera ikut membuka pakaiannya. Dengan wajah menunduk tanpa mau melihat ke wajahnya, dia segera bergerak naik ke atas tubuhnya. Wie merasakan desiran hebat ketika betis mereka bersentuhan. gentot

Naik lagi.. kini Wie bisa merasakan halusnya paha majikannya itu bersentuhan dengan paha atasnya. Naik lagi.. dan.. Wie merasakan seluruh tulang belulangnya kena setrum ribuan watt ketika ujung alat pribadinya menyentuh bagian lunak empuk dan basah di pangkal paha Bu Winda.

Tanpa memperlihatkan sedikitpun bagian tubuhnya, Bu Winda nampaknya hendak melakukan persetubuhan dengannya. Wie menghela nafas dan menelan ludah ketika tangan lembut itu memegang alatnya dan, “Bleesshh..!”

Dengan badan bergetar antara lemas dan kaku, Wie sedikit mengerang menahan geli dan kenikmatan ketika barangnya dilumat oleh daging hangat nan empuk itu. Dengan masih menunduk Bu Winda mulai menggoyangkan pantatnya. Tangannya menepis tangan Wie yang secara naluriah hendak merengkuhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *